Cerpen, English

Cakar Monyet (The Monkey’s Paw)

Berjudul asli “The Monkey’s Paw.”Cerita pendek yang ditulis oleh William Wymark Jacobs ini
terhimpun di Antologi Cerpen The Lady of The Barge yang terbit pada 1902. Ada beberapa versi dari cerpen ini. Versi yang diterjemahkan di dalam postingan ini merupakan versi yang telah diceritakan ulang
oleh Diane Mowat. Berkas cerita pendek ini bisa diunduh di
https://libgen.is/book/index.php?md5=8AEC4B7F752920CEA25337F405F58952


Berikut terjemahan lengkapnya:

-Bagian Pertama-
 
Jalanan begitu gelap dan dingin. Hujan tak kunjung reda. Suasana berbeda tersaji di ruang keluarga yang beralamat di Jalan Castle No.12. Di sana begitu hangat dan menyenangkan. Si tua Tuan White dan anaknya, Herbert bermain catur sementara Nyonya White menyaksikan. Wanita tua itu bahagia melihat suami dan anaknya akrab bak kakak-beradik. Mereka kerap melakukan pelbagai hal bersama. ‘Herbert anak yang baik,’ pikirnya. ‘Aku dan ayahnya menunggu lama kehadirannya, Aku hampir berusia empat puluh tahun saat melahirkannya, dan sekarang Aku, Ayah, dan Herbert adalah keluarga yang bahagia.” Nyonya White yang sudah tidak muda lagi itu kemudian tersenyum.
 
Perkataan Nyonya White tepat. Herbert masih muda dan senang bersenda-gurau dengan orang tuanya. Mereka bukan keluarga yang mempunyai banyak uang, tetapi mereka adalah keluarga kecil yang bahagia.
Dua lelaki itu tak berbicara sama sekali karena tengah berada di dalam permainan yang menuntut kehati-hatian. Ruangan itu senyap, tetapi gemuruh hujan kian keras, mereka bisa mendengarkannya dari jendela. Tiba-tiba Tuan White menengadah. ‘Perhatikan gemuruh hujan di luar sana!’ Ujar Tuan White.
‘Begitulah, malam ini begitu buruk.’ Jawab Herbert. ‘Tak mengenakan keluar rumah saat kondisi seperti ini. Tetapi apakah kawanmu, Tom Morris jadi berkunjung malam ini?’ Tambah Herbert.
‘Ya, itu benar. Dia akan datang pada pukul tujuh,’ Pak tua itu menjelaskan. ‘Tetapi, bisa jadi hujan ini…’
Tuan White belum selesai berbicara saat anaknya mendengar sebuah suara dan memotong pembicaraan:
‘Dengar!’ tukas Herbert. ‘Ada seseorang di depan pintu sekarang.’
‘Aku tidak mendengar apa-apa,’ sang ayah menimpali, tetapi dia berdiri dan pergi untuk membuka pintu depan. Nyonya White ikut berdiri dan menyingkirkan barang-barang di ruangan kecil itu.  
Pak White berkata, ‘Silakan masuk, Tom. Senang bisa bertemu lagi. Malam yang buruk! Sini mantelmu dan silakan menuju ruang keluarga. Di sana hangat dan nyaman.’
Pintu depan yang terbuka membuat Herbert dan ibunya merasa kedinginan. Kemudian Tuan White kembali ke ruang keluarga bersama seorang pria besar bermuka merah.
‘Ini Tom Morris,’ Tuan White memberitahu istri dan anaknya. ‘Kami berteman sejak masa muda dahulu. Kami bekerja bersama sebelum Tom pergi ke India. Tom, ini istriku, dan ini anak kami, Herbert.’
‘Senang bertemu kalian,’ ujar Tom Morris.
‘Salam kenal, Tuan Morris,’ Nyonya White menimpali. ‘Silakan duduk, Tuan.’
‘Mari, Tom,’ Ujar Tuan White. ‘Duduk di sini saja. Di sini nyaman dan hangat.’
‘Terima kasih,’ pria besar itu menjawab kemudian duduk.
‘Mari kita minum wiski,’ ajak Tuan White. ‘Kau butuh sesuatu untuk menghangatkan badan di kala malam yang dingin ini,’ Tuan White mengeluarkan sebotol wiski dan dua kawan lama itu mulai minum dan berbincang. Keluarga White mendengarkan dengan antusias cerita-cerita aneh dari tamu jauh itu.    
 
-Bagian Kedua-
 
Setelah menceritakan banyak kisah aneh, Tom Morris diam. Tuan White ganti bercerita siapa tamunya itu: ‘Tom pernah menjadi tentara di India selama 23 tahun. India merupakan negeri yang mengagumkan.’
‘Betul,’ ujar Herbert. ‘Aku ingin pergi ke sana.’
‘Oh Herbert!’ Ibu Herbert berteriak. Dia takut kehilangan anak semata-wayangnya itu.
‘Dahulu, Aku juga ingin pergi ke India,’ Tuan Herbert mengenang, ‘tetapi…’
‘Lebih baik Kau di sini!’ Tuan Morris memotong perkataan temannya itu.
‘Tapi, suatu haru nanti, Aku ingin merasakan apa yang kau rasakan pula: melihat banyak hal aneh dan mengagumkan di India,’ Tuan White berandai-andai.
Tuan Morris meletakkan wiski nya. ‘Tidak!’ teriaknya. ‘Tetap di sini!’
Si tua White enggan berhenti bicara. ‘Tetapi cerita-cerita yang kau sampaikan sungguh menarik,’ Ia kembali menyatakan ketertarikannya pada cerita kawannya yang seorang tentara itu. ‘Dahulu Kau pernah bercerita mengenai cakar monyet. Bagaimana awalnya?’
‘Bukan apa-apa!’ Jawab Morris cepat. ‘Baik… tak ada yang penting.’
‘Sebuah cakar monyet?’ Nyonya White mengulangi perkataan suaminya.
‘Ayo ceritakan kepada kami mengenai hal tersebut, Tuan Morris!,’ bujuk Herbert.
Morris mengambil wiskinya, namun menaruhnya lagi. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku mantel sementara keluarga White memperhatikannya.
‘Bagaimana? Bagaimana?’ Nyonya White berteriak.
Morris tetap diam. Dia mengeluarkan tangannya yang tadi ia masukkan ke saku. Keluarga White memerhatikan tamunya dengan seksama -kemudian mereka melihat benda kecil dan kotor berada di genggaman Tuan Morris.
Nyonya White mundur, ia takut, namun anaknya, Herbert, mengambil benda kecil itu dan memperhatikannya baik-baik.
‘Apa ini?’ tanya Tuan White pada kawannya itu.
‘Coba lihat!’ Tuan Morris menimpali. ‘Ini adalah sebuah cakar yang mungil… sebuah cakar monyet lebih tepatnya.’
‘Cakar monyet?!’ tukas Herbert - kemudian dia tertawa. ‘Kenapa kau membawa cakar monyet di sakumu, Tuan Morris?’ Tanya Herbert.
‘Baik, seperti yang Kau lihat, ini adalah cakar monyet,’ Tuan Morris mulai menjelaskan, ‘tetapi ini bukan sembarang cakar monyet, ini cakar monyet ajaib!’
Herbert kembali tertawa, kemudian Tuan Herbert memperingatkan: ‘Jangan tertawa, Nak. Ingat, kau masih bocah bau kencur sementara Aku sudah tua, Aku sudah melihat banyak hal ganjil di India.’ Tuan Morris diam sejenak kemudian berkata, ‘Cakar monyet ini bisa memunculkan hal-hal aneh nan mengagumkan. Seorang India tua memberikannya kepada salah satu temanku. Ia juga tentara seperti halnya diriku. Cakar ini ajaib karena bisa mengabulkan tiga permintaan dari tiga orang berbeda.’
‘Hebat!’ Tukas Herbert.
‘Tetapi tiga permintaan tersebut tidak akan mendatangkan kebahagiaan,’ Tuan Morris menambahkan. ‘Orang tua asal India itu ingin mengajarkan sesuatu kepada kita - keinginan untuk mengubah ‘takdir’ suatu perkara bukanlah hal yang baik.’
‘Apakah temanmu sudah mengajukan tiga permintaannya?’ Tanya Herbert.
‘Tentu sudah,’ tentara tua itu menjawab dengan tenang. ‘Permintaan ketiganya adalah permintaan untuk mati!’
Tuan dan Nyonya White menyimak cerita Tuan Morris disertai rasa takut, tetapi Herbert tak berhenti bertanya, ‘Apakah pada akhirnya dia mati?’
‘Ya, tentu saja,’ jawab Tuan Morris. ‘Dia tidak memiliki sanak famili, sehingga seluruh warisannya jatuh ke tanganku ketika dia mati. Cakar monyet ini salah satu di antara warisannya itu. Dia sempat memberitahukan perihal cakar ini sebelum mati,’ Jawab Tuan Morris.
‘Jadi, apa permintaan pertama dan keduanya?’ Herbert kembali bertanya. “Apa yang ia minta?’
‘Entah lah, dia enggan memberitahuku,’ jawab Tuan Morris pendek.
Untuk beberapa saat kedua orang ini diam, tetapi kemudian Herbert kembali mengajukan pertanyaan, ‘Dan bagaimana denganmu, Tuan? Apakah Kau telah mengajukan tiga permintaan?’
‘Ya, Aku telah melakukannya,’ Tuan Morris menjawab. ‘Ketika itu Aku masih muda dan menginginkan banyak hal - mobil mewah, uang …’ Tentara tua itu diam sejenak dan kemudian melanjutkan ceritanya dengan terbata-bata, ‘Istri dan anakku yang masih kecil meninggal dalam sebuah kecelakaan ketika mengendarai mobil tersebut. Tanpa mereka Aku tak menginginkan uang, maka, pada akhirnya Aku mengajukan permintaan agar Aku kehilangan uang tersebut. Tetapi itu sudah terlambat. Istri dan anakku telah tiada.’
Ruangan itu sunyi. Keluarga White melihat ekspresi muka Tuan Morris yang sedih.
Kemudian Tuan White berkata, ‘Mengapa Kau masih menyimpan cakar itu? Kau tidak membutuhkannya. Kau bisa memberikannya kepada seseorang.’
‘Bagaimana mungkin Aku memberikan cakar ini kepada seseorang, sedangkan benda ini membawa kesialan bersamanya?!’ Tegas Tuan Morris.
‘Baiklah, berikan benda itu kepadaku!’ Pinta Tuan White. ‘Siapa tahu kali ini cakar itu …”
‘Tidak!” tegas Tuan Morris. ‘Kau kawanku. Aku tidak bisa memberimu benda ini.’ Kemudian, setelah beberapa saat, ia berkata, ‘Aku tidak bisa memberi benda ini kepadamu, tetapi, Kau bisa mengambil ini dariku. Tetapi ingat - cakar monyet ini membawa kemalangan bersamanya!’
Tanpa menghiraukan peringatan Tuan Morris, Tuan White mengambil cakar monyet sakti itu.
Tom Morris nampak tak senang, tetapi Tuan White tidak mau berlama-lama.
‘Apa yang harus Aku lakukan sekarang?’ Tanya Tuan White ke pemilik lama cakar yang saat ini di tangannya.
‘Ayo, Ayah, buat permintaan!’ tukas Herbert diikuti derai tawa.
Sang tentara diam saja dan Tuan White mengulangi pertanyaannya, ‘Apa yang harus Aku lakukan sekarang?’
Awalnya Tom Morris tetap diam, namun, akhirnya, ia berujar dengan pelan, ‘Baiklah. Tetapi ingat! Hati-hati! Berpikirlah sebelum mengajukan permintaan.’
‘Iya,’ jawab Tuan White pendek.
‘Pegang cakar itu di tangan kananmu dan ajukan permintaan, tapi …’ Tuan Morris mulai mengarahkan.
‘Baiklah, Kami tahu, kau akan berkata: ‘Hati-hati!’’ Potong Herbert.
Tak berselang lama Nyonya White beranjak untuk menyiapkan makan malam. Sang suami melihatnya dengan tersenyum dan berkata, ‘Mari bantu Aku! Permintaan apa yang harus Aku ajukan? Kita butuh uang  pasti…’
Nyonya White tertawa, tetapi dia berpikir sesaat dan berkata, ‘Baiklah, Aku terus menua dan kadang kala susah untuk melakukan segala sesuatu. Mungkin Aku butuh tambahan dua tangan. Minta kepada cakar itu agar memberi dua tangan tambahan kepadaku.’
‘Baiklah,’ Tuan White menimpali, kemudian ia menggenggam cakar monyet itu di tangan kanan. Setiap pasang mata melihat tingkah Tuan White sedangkan ia diam sejenak. Kemudian ia mulai membuka mulut untuk membuat permintaan.
‘Jangan lakukan itu!’ Teriak Tuan Morris tiba-tiba.
   Wajah prajurit tua itu pucat. Herbert dan ibunya tertawa, tetapi Tuan White memerhatikan wajah Tom. Orang tua itu ketakutan dan langsung menaruh cakar monyet itu di saku.
Beberapa menit kemudian mereka telah berada di sekeliling meja makan untuk santap malam. Tuan Morris kembali menceritakan kisah-kisah mengenai India yang aneh dan menakjubkan. Hal ini membuat Keluarga White lupa akan ihwal cakar monyet untuk sementara waktu. Bahkan mereka mengajukan banyak pertanyaan mengenai cerita-cerita yang Tuan Morris sampaikan. Malam telah sangat larut saat Tuan Morris pamit untuk pulang.
‘Terima kasih banyak untuk malam yang sangat menyenangkan,’ tukas Tuan Morris kepada seluruh anggota Keluarga White. ‘Terima kasih untuk santap malam yang lezat,’ imbuhnya kepada Nyonya White.
‘Malam ini begitu mengagumkan untuk Kami, Tom. Ceritamu tadi begitu menarik. Kehidupan kami tak begitu menggairahkan dan Kami tak punya cukup uang untuk mengunjungi India, maka datanglah lagi sesegera mungkin. Kau bisa berbagi lebih banyak cerita mengenai India.’ Timpal Tuan White
Kemudian tentara tua itu memakai mantel nya dan mengucapkan selamat tinggal. Dia pergi menerobos hujan.
 
-Bagian 3-
Keluarga White masih terus memperbincangkan cerita-cerita yang baru mereka dengar dari Tom Morrison tadi, bahkan hingga tengah malam. Mereka berdiskusi di ruang keluarga yang hangat.
‘India adalah negeri yang mengagumkan,’ Tuan White memuji negeri impiannya. ‘Cerita yang begitu menggairahkan! Malam ini begitu indah.’
Nyonya White berdiri, ia akan pergi ke dapur untuk mengambil sesuatu, tetapi dia berhenti dan menyimak apa yang diobrolkan suami dan anaknya
‘Betul,’ ujar Herbert. ‘Morris menceritakan cerita-cerita yang menarik tadi, tetapi, tentu saja, sebagian ceritanya tidak benar-benar terjadi.’
‘Oh Herbert!’ Teriak Nyonya White.
‘Baik, Ibu, cerita tentang cakar monyet tidaklah benar-benar terjadi. Cakar monyet kotor itu tidaklah memiliki kesaktian! Tapi, ngomong-ngomong,  cerita tadi cerita yang menarik.’ Tandas Herbert diikuti dengan senyuman.
‘Ibu pikir kamu benar, Herbert,’ Nyonya White menimpali.
‘Aku tak tahu.’ Tuan White berpendapat dengan suara yang pelan. ‘Mungkin cerita itu benar-benar nyata. Kadang, hal-hal aneh bisa saja terjadi.’
Nyonya White memandang suaminya. ‘Apakah Kau memberi sejumlah uang sebagai ganti cakar monyet itu kepada Tom Morrison?’ Tanyanya. ‘Kita tidak punya cukup uang jika hanya dibelanjakan untuk sebuah omong kosong! ’ Nyonya White marah sekarang.
‘Baiklah,’ Jawab Tuan White. ‘Aku memang memberinya uang, tapi tak seberapa, dan pada awalnya ia menolak. Ia hanya menginginkan cakar monyet itu.’
‘Jadi, dia tidak mendapatkannya,’ ujar Herbert sambil tertawa. ‘Ini cakar kita sekarang dan kita akan kaya raya dan bahagia. Ayo, Ayah, Ajukan permintaan!’
Si tua Tuan White mengambil cakar monyet itu dari sakunya. ‘Ya, Herbert. Tetapi apa yang akan Aku minta? Aku memiliki segalanya - anak, istri. Apalagi yang Aku butuhkan?’
‘Uang, pastinya,’ jawab Herbert cepat. ‘Kita butuh uang! Kau selalu memikirkan uang. Itu terjadi karena kita tidak memiliki banyak uang. Dengan uang Kita bisa membayar rumah ini. Semua ini bisa jadi milik kita! Ayah, ayo lanjutkan, mintalah tiga puluh ribu pound!’  
Herbert diam dan ayahnya yang sudah tua berpikir untuk beberapa saat.Ruangan itu begitu tenang hingga mereka bisa mendengar gemuruh hujan di luar sana.
Kemudian Tuan White memegang cakar monyet di tangan-kanannya. Dia ketakutan, tetapi senyuman istrinya menguatkannya.
‘Lanjutkan,’ tukas istrinya.
Dengan berhati-hati dan diucapkan dengan suara yang pelan, Tuan White mengajukan permohonan, ‘Aku menginginkan tiga puluh ribu pound.’
Tiba-tiba Tuan White berteriak, kemudian anak dan istrinya lari menghampirinya.
‘Apa yang terjadi, Ayah?’ Tanya Herbert penasaran.
‘Benda ini bergerak!’ Teriak Tuan White. ‘Cakar monyet ini bergerak!’
Mereka memerhatikan cakar monyet. Benda itu, sekarang, tergeletak di lantai, tidak berada di genggaman Tuan White. Keluarga White menontonnya, mereka terus menunggu sesuatu terjadi - tetapi benda itu bergeming.
Keluarga kecil itu duduk dan terus menunggu, namun tak terjadi apa-apa. Gemuruh hujan semakin menjadi dan ruang keluarga mereka tidak lagi hangat maupun nyaman.
Nyonya White berkata, ‘Udara begitu dingin. Ayo kita tidur.’
Tuan White diam saja dan Herbert berkata, ‘Baiklah, tidak ada uang datang, Ayah. Cerita temanmu tadi tidaklah nyata.’ Tuan White tetap diam. Dia duduk dengan tenang tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun.
Setelah beberapa saat, Nyonya White bertanya kepada suaminya, ‘Kau baik-baik saja?’
‘Ya,’ jawab lelaki tua itu, ‘tetapi tadi Aku merasa takut.’
‘Baiklah, kita meminta uang, namun kita tidak akan mendapatkannya. Aku lelah dan ingin tidur.’
Setelah Nyonya White beranjak tidur, Herbert dan ayahnya merokok bersama.
Tak lama, Herbert pamit untuk tidur pula, ‘Ayah, Aku akan menyusul Ibu tidur. Mungkin uang yang kita minta ada di bawah ranjangmu! Selamat malam, Ayah.’ Ia berpamitan dengan setengah tertawa.
Tuan White tak meninggalkan ruang keluarga yang dingin untuk waktu yang lama. Lilin telah mati dan keadaan gelap-gulita. Tiba-tiba, pandangannya menangkap sesosok wajah di jendela. Dengan cepat pandangannya kembali tertuju ke jendela, namun ia tak melihat apa pun. Dia ketakutan. Ia beranjak dan pelan-pelan meninggalkan ruangan yang dingin dan gelap gulita itu.
 
-Bagian Keempat-
 
Keesokan harinya, sinar mentari musim dingin memancar ke dalam rumah lewat jendela. Rumah Keluarga White kembali hangat dan nyaman. Tuan White merasa baikan, ia kembali bisa tersenyum di depan anak dan istrinya. Keluarga kecil itu sarapan bersama sambil membicarakan segala aktivitas mereka hari ini. Cakar monyet tergeletak di atas meja dekat jendela. Tak seorang pun memerhatikan atau pun memikirkannya.
‘Aku akan pergi ke pasar, pagi ini,’ ujar Nyonya White. ‘Aku ingin sesuatu yang enak untuk santap malam nanti. Kau mau ikut denganku?’ tambahnya.
‘Tidak, Aku ingin menikmati pagi yang tenang. Aku akan membaca,’ timpal sang suami.
‘Aku tidak akan keluar malam, hari ini,’ Herbert ikut-ikutan memamerkan rencana kegiatannya hari ini., ‘Jadi, nanti malam kita bisa tidur lebih awal. Kita tidur terlalu larut tadi malam.’ Tambahnya.
‘Dan kita tidak akan bercerita mengenai cakar monyet lagi!’ Ketus Nyonya White. ‘Mengapa tadi malam kita sudi mendengarkan omong kosong temanmu? Sebuah cakar monyet tak bisa memberimu apa-apa.’ Ungkitnya masalah semalam. Dua lelaki di depannya tak menjawab apa-apa. ‘Tiga puluh ribu pound!’ Ucapnya pelan. ‘Kita telah memintanya kepada cakar monyet itu.’
Tak berselang lama Herbert melihat jam dan berdiri.
‘Aku akan berangkat kerja,’ tukasnya. ‘Mungkin tukang pos mengirimkan uang yang kau minta tadi malam dengan menaruhnya di dalam surat. Ingatlah, sisakan Aku sebagian!’ Herbert kemudian tertawa bersama ibunya.
‘Jangan tertawa, Nak,’Tuan White mengingatkan. ’Tom Morris adalah kawan-lamaku yang berkata cerita itu nyata. Bisa jadi itu benar-benar terjadi.’
‘Baik, sisakan sebagian uang untukku,’ Herbert kembali tertawa.
Ibunya ikut tertawa ketika ikut mengantarkannya pergi kerja sampai di depan pintu.
‘Selamat tinggal, Ibu,’ pamit Herbert dengan riang gembira. ‘Masak sesuatu yang enak untuk santap malam nanti. Aku pasti lapar setelah seharian bekerja.’
‘Ya, Aku paham!’ Nyonya White menimpali.
Herbert meninggalkan rumah dan menyusuri jalan dengan cepat. Ibunya diam di depan pintu sambil menyaksikan putranya semakin jauh. Sinar mentari musim dingin terasa hangat, tetapi tiba-tiba wanita tua itu kedinginan.
 
-Bagian 5-
 
Dengan pelan, Nyonya White kembali ke dalam rumah. Suaminya menengadah dan melihat sesuatu yang ganjil pada raut wajah wanita yang sudah berumur itu.
 
‘Ada masalah apa?’ tanya sang suami.
‘semua baik-baik saja,’ jawab Nyonya White, kemudian ia duduk kembali untuk menghabiskan sarapannya. Ia kembali memikirkan segala sesuatu yang dikatakan Tom Morris lagi dan tiba-tiba berkata pada suaminya. ‘Temanmu banyak menenggak wiski tadi malam! Ceritanya mengenai cakar monyet sungguh dongeng yang menakjubkan!’
 Belum sempat Tuan White menanggapi ucapan istrinya, seorang tukang pos datang. Dia membawa dua surat untuk keluarga kecil itu -tetapi tak ada sepeser pun uang di sana. Setelah itu, pasangan tua itu lupa akan masalah uang dan cakar monyet.
Pada siang harinya, sekitar pukul satu, Nyonya dan Tuan White makan siang bersama, mereka kembali membicarakan perihal uang. Mereka memang diketahui sebagai keluarga yang kurang mampu sehingga perbincangan mengenai uang seringkali menjadi topik utama pembicaraan mereka.
‘Tiga puluh ribu pound-nya mana?’ Tukas Nyonya White, ‘Kita membutuhkannya!’
‘Uang itu tak datang pagi ini,’ suaminya menimpali. ‘Lupakan saja masalah itu!’
Kemudian sang suami kembali menceritakan pengalamannya tadi malam, ‘Tetapi benda itu bergerak. Cakar monyet itu benar-benar bergerak di genggamanku! Cerita Tom benar adanya!’
‘Kau menenggak banyak wiski tadi malam, mungkin itu hanya halusinasimu, cakar itu tidak benar-benar bergerak,’ Nyonya White ragu.
‘Benda itu benar-benar bergerak!’ Teriak Tuan White berang.
Awalnya, Nyonya White diam saja, namun kemudian wanita tua itu menimpali. ‘Herbert akan tertawa jika mendengar apa yang Kau katakan…’
Nyonya White tiba-tiba menghentikan ucapannya. Ia berdiri dan pergi menuju jendela.
‘Ada apa?’ Tanya suaminya heran.
‘Ada seorang pria di depan rumah kita,’Adu Nyonya White. ‘Aku tak mengenalnya, ia mengenakan baju yang rapi dan begitu tinggi. Dia terus menatap ke arah rumah kita… Oh, tidak… ia pergi sekarang…’
‘kembali ke sini! habiskan makananmu!’ Perintah Tuan White.
Wanita tua itu tak mendengarkan ucapan suaminya. ‘Dia tidaklah pergi,’ ucapnya sambil mengamati. ‘Dia datang lagi. Aku tak mengenalnya - dia terlihat asing bagiku. Benar, dia mengenakan baju yang begitu rapi …’ Tiba-tiba Mrs. White tak meneruskan ucapannya. Ia begitu antusias. ‘Dia menuju pintu rumah kita…Mungkin dia yang membawa uang yang kita minta tadi malam!’
Nyonya White berlari ke rumah bagian depan guna membukakan pintu. Pria asing yang berpostur tinggi dan berpakaian rapi berdiri di sana. Untuk beberapa saat ia hanya diam, kemudian ia membuka pembicaraan, ‘Selamat siang. Saya mencari Tuan dan Nyonya White.’
‘Oh begitu, Saya Nyonya White,’ jawab wanita tua itu. ‘Ada yang bisa Saya bantu?’
Pria asing itu kembali diam, tapi kemudian ia berkata, ‘Nyonya White, Saya utusan dari Maw & Meggins. Apakah Anda berkenan bila Saya meminta masuk dan berbincang?’
Perusahaan Maw & Meggins mempunyai pabrik yang besar dan Herbert White bekerja di sana, di bagian mesin lebih tepatnya.  
‘Ya, tentu,’ Nyonya White menyetujui permintaan pria asing itu. ‘Silakan masuk.’
Pria asing berpakaian rapi itu masuk ke ruang keluarga di mana Mr. White sedang berdiri di sana.
‘Apakah Anda Tuan White?’ Pria asing itu memulai pembicaraan. ‘Saya utusan dari Maw & Meggins.’ Pria asing itu memperkenalkan diri.
Nyonya White memerhatikan pria asing itu dan berpikir, ‘Mungkin dia lah yang membawa uang yang tadi malam ayah minta… Tetapi kenapa ia berasal dari Maw & Meggins? Ekspresi wajahnya juga nampak kurang bahagia… Kenapa?’ Tiba-tiba wanita tua itu merasa takut.
‘Silakan duduk,’ Tuan White memulai, istrinya sudah tidak sabar. Ia langsung menanyakan apa yang ada di benaknya.
‘Apa yang sebenarnya terjadi?’ Wanita itu berteriak. ‘Apakah Herbert …”Ia tak sanggup meneruskan pertanyaannya.
Orang asing itu tidak berani menatap muka Tuan dan Nyonya White-Tuan White mulai merasa takut juga.
‘Mohon beritahu Kami!’ pinta Tuan White.
‘Kami meminta maaf sebesar-besarnya,’ Utusan Maw & Meggins memulai. Ia berhenti sesaat dan mulai lagi. ‘Kami meminta maaf sebesar-besarnya, pagi ini ada  kecelakaan di pabrik …’
‘Apa yang menjadi masalah? Apakah Herbert baik-baik saja?’ Nyonya White kembali berteriak.
‘Iya …’ Jawab pria berpakaian rapi itu pelan.
‘Apakah dia berada di rumah sakit sekarang?’ Tanya wanita tua itu lagi. Dia sangat khawatir sekarang.
‘Betul, tetapi …’Pria asing itu menatap Nyonya White dan tidak meneruskan ucapannya.
‘Apakah dia tak terselamatkan? Apakah Herbert mati?’ Nyonya White bertanya pelan.
‘Mati!’ Teriak Nyonya White. ‘Oh tidak … kumohon… Jangan mati! Itu pasti bukan Herbert! Itu bukan Herbert putra kami!’
Mendadak wanita tua itu berhenti bicara karena melihat raut muka pria asing itu. Kemudian sepasang suami-istri itu paham bahwa putra semata wayang mereka telah tiada! Nyonya White mulai menangis sementara sang suami memeluknya.
Beberapa saat kemudian pria yang diutus Maw & Meggins mulai menerangkan apa yang sebenarnya telah terjadi, ‘Tadi pagi terjadi sebuah kecelakaan di bagian mesin. Tiba-tiba Herbert berteriak, “Tolong… Tolong!”. Para pekerja mendengar teriakannya -dan mereka lari menghampiri, namun mereka tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa menit kemudian ia sudah tergencet di dalam mesin. Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya.’
Ruangan itu hening beberapa saat. Ratapan Nyonya White membuyarkan keadaan, ‘Anak kami telah tiada! Kami tidak akan pernah lagi melihatnya. Apa yang bisa Kami perbuat tanpa dirinya?’
Suaminya menimpali, ‘Dia satu-satunya anak kami. Kami begitu menyayanginya.’
Lalu Nyonya White bertanya ke pria asing itu, ‘Bolehkah Kami melihatnya? Bolehkah Kami melihat putra kami? Tolong antarkan aku untuk melihatnya. Aku ingin melihat anakku.’
Pria asing itu menjawab dengan cepat, ‘Tidak!’ Jawabnya singkat. ‘Lebih baik Kau tidak melihatnya. Para pekerja tidak bisa jika harus menghentikan mesin cepat-cepat. Dia tergencet di dalamnya begitu lama. Mereka awalnya kesulitan mengambil jasadnya. Dia …’ Pria berpakaian rapi itu seakan tak kuasa melanjutkan penjelasannya.  Ia langsung menuju kepada kesimpulan uraiannya, ‘Jangan pergi untuk melihatnya!’
Utusan Maw & Meggins kelihatan merenung sambil menatap ke luar jendela, ia tak sanggup melihat muka  pasangan Suami-Istri White. Dia hanya diam, dia seakan menunggu untuk melakukan sesuatu.
Kemudian ia kembali menghadap pasangan suami istri itu dan mulai mengobrol lagi. ‘Ada satu hal lagi,’ katanya.’Putra anda telah bekerja untuk Maw & Meggins selama enam tahun, dia adalah pekerja yang baik. Sekarang, Maw & Meggins ingin membantu anda di waktu yang kurang menyenangkan ini,’ Pria itu kembali diam. Setelah beberapa saat ia meneruskan ucapannya. ‘Maw and Meggins ingin memberi anda sedikit uang.’ Kemudian ia meletakkan sesuatu di atas tangan Tuan White.
Tuan White tidak mempedulikan uang yang berada di genggaman nya itu. Ia pelan-pelan berdiri dan menatap pria asing itu, dalam benaknya mulai muncul rasa takut. ‘Nominalnya berapa?’ Tanya Tuan White pelan. Dia enggan mendengarkan jawabannya.
‘Tiga puluh ribu pound,’ jawab si pria asing.
 
 
-Bagian 6-
 
Tiga hari kemudian, di kuburan yang masih basah yang jaraknya dua mil dari rumah, dua orang tua yang sudah tidak muda lagi itu mengucapkan selamat tinggal kepada anak semata wayang mereka. Herbert White meninggalkan kedua orangtuanya untuk selamanya. Kemudian pasangan suami istri White kembali ke rumahnya yang tua dan gelap. Mereka enggan hidup tanpa Herbert, mereka menunggu sebuah hal baik terjadi,  sesuatu yang akan membantu mereka. Hari-hari terasa berjalan begitu lambat. Kadang kala pasangan suami-istri ini tidak bercakap sama sekali karena tanpa Herbert, tak ada yang bisa dibicarakan.
Sekitar seminggu kemudian, Nyonya White beranjak dari ranjang karena tidak bisa tidur. Dia duduk di depan jendela, memandang ke luar, menunggu Herbert pulang. Putranya tak kunjung datang dan Ia mulai menangis.
Di dalam kegelapan, Tuan White mendengar tangis istrinya kemudian ia memanggil orang yang telah puluhan tahun menemani hidupnya itu, ‘Kembalilah ke ranjang, di situ udara begitu dingin.’
‘Anakku pasti lebih kedinginan di pekuburan sana.’
Nyonya White tidak kunjung kembali ke ranjang. Tuan White yang telah renta dan kelelahan tak kuasa melawan daya pikat ranjang yang begitu hangat. Lelaki tua itu kembali tidur. Ia terbangun kembali karena mendengar suara teriakan istrinya.
‘Cakar Monyet!’ Teriak wanita tua itu. Dia mendekati ranjang dan berdiri di sana.
‘Apa maksudnya? Apa yang terjadi?’ Tuan White berteriak. Ia terduduk di ranjang. ‘Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa istriku begitu antusias? Apa yang ia bicarakan?’ Pikirnya dalam hati ketika melihat ekspresi Nyonya White.
Raut muka Nyonya White begitu bergairah di temaramnya kamar. ‘Aku ingin itu. Kau kan sudah mendapat sesuatu! Sekarang, berikan itu kepadaku, Aku mohon!’ racau Nyonya White.
‘Ini itu apa?’ Tanya Tuan White heran.
‘Cakar monyet, di mana benda itu Kau simpan?’ Tanya Nyonya Herbert antusias.
‘Benda itu di lantai bawah, memang Kenapa?’Jawab sang suami heran.
Nyonya White mulai berteriak-teriak sambil tertawa. ‘Kita masih punya dua keinginan yang bisa terkabul!’ Teriaknya. ‘Kita sudah mengajukan satu permintaan - namun masih tersisa dua lagi!’
‘Tidak! Sekali lagi tidak!’ teriak Tuan White dan istrinya seakan tidak mendengar perkataannya.
‘Cepatlah, pergi dan ambil cakar monyetnya! Kita akan mengajukan permintaan berupa hidupnya kembali anak kita!’ Pinta Nyonya Herbert.
‘Tidak! Kau sudah sinting !’ Teriak Tuan White.
‘Ambillah! Ambil cepat!’ Nyonya White meminta lagi.
Tuan White kembali menolak, ‘Cobalah berpikir! Dia telah terjebak di dalam mesin begitu lama. Orang-orang pabrik saja tidak mengizinkan kita melihatnya! Cobalah berpikir! Kau ingin melihat jasadnya?
‘Iya! Dia anakku sendiri. Aku takkan takut melihat darah-dagingku sendiri!’ Nyonya White bersikukuh.
Ruang keluarga begitu gelap dan Tuan White tak membawa lilin. Ia berjalan pelan menyusuri ruangan itu. Ia mengulurkan tangan untuk mencari cakar monyet. Ia menyentuhnya dan dengan cepat ia menjauhkan tangannya lagi dari benda itu.
‘Tidak! Aku tak sanggup melihat Herbert! Wajahnya setelah terperangkap di dalam mesin pasti …. Tidak! Aku tak sanggup!’ Kata Tuan White dalam hati.
Namun, ia juga memikirkan keinginan istrinya -akhirnya ia mengulurkan tangannya lagi dan meraih cakar monyet.
 ‘Ajukan permintaan! Aku tak takut dengan anakku sendiri!’ Teriak Nyonya White lagi.
Tuan White menatap istrinya dengan sedih. Kemudian ia genggam cakar monyet itu dengan tangan kanannya dan berkata perlahan, ‘Aku meminta anakku, Herbert, kembali bersama kami lagi.’ Kemudian ia terduduk di kursi yang berada di dekatnya.
Nyonya White pergi ke depan jendela dan melihat jalanan. Ia bergeming di sana untuk waktu yang lama. Tak terjadi apa-apa. Cakar monyet tak sanggup mengabulkan permintaan itu!
‘Puji Tuahn!’ seru Tuan White, ia kembali ke ranjang. Tak lama, istrinya menyusul.
 
-Bagian 7-
 
Meski tak terjadi apa-apa, tetapi mereka berdua tak bisa tidur . Mereka menunggu dan menyimak apa yang akan terjadi. Tuan White akhirnya mencari lilin karena kegelapan membuat keadaan semakin menakutkan. Ketika ia turun ke lantai bawah, ia mendengarkan suara di balik pintu depan sana. Dia berhenti melangkah dan kemudian berusaha menyimak. Ia sukar untuk melangkah. Kemudian suara itu terdengar lagi. Kali ini ia lari. Ia berlari ke lantai atas, kembali ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Tetapi suara itu terdengar lagi.
‘Apa itu?’ Nyonya White berteriak, dia mendudukkan diri di ranjang.
‘Bukan apa-apa! Tidurlah kembali!’ Jawab suaminya. Tetapi Nyonya White juga mendengar apa yang suaminya dengar-suara itu kembali lagi. ‘Itu Herbert! Itu Herbert!Aku akan membukakan pintu untuknya. ‘ Teriak Nyonya White dengan girangnya.
Dia melompat dari ranjang dan berlari menuju pintu kamar. Tuan White yang sampai terlebih dahulu berusaha menghentikan aksi istrinya.
‘Tidak! Coba Kau pikirkan dahulu!’ Bentak Tuan White.
‘Tetapi itu Herbert , anakku sendiri!’ Timpal Nyonya White.
‘Tidak! Jangan pergi! Jangan…’ Sang suami kembali memperingatkan.
Tetapi Nyonya White tak mendengarkan suaminya. Ia membuka pintu kamar dan berlari ke luar kamar. ‘Ibu datang, Herbert. Ibu datang!’Teriak wanita tua itu.
Tuan White mengejar istrinya. ‘Berhenti! Ingatlah, Herbert mati tergencet mesin! Kau tak sanggup melihat rupanya!’ Teriak Tuan White.
Nyonya White berhenti sebentar dan melihat suaminya, namun suara itu terdengar lagi dan dia lari menuju lantai bawah.
‘Tolong aku! Tolong aku!’ Nyonya White berteriak meminta bantuan kepada suaminya.
Tetapi Tuan White hanya diam. ‘Cakar monyet! Di mana benda itu!’ Pikir Tuan White dalam hati.
Ia berlari menuju ruang keluarga. Awalnya, ia kesusahan menemukan cakar monyet itu di tengah kegelapan. ‘Di mana cakar monyet itu,’ pikirnya. Akhirnya ia menemukan benda itu. ‘Ah! Di sini rupanya!’ Ucapnya lega.
Pada saat yang sama ia mendengar suara istrinya di lantai bawah.
‘Tunggu! Tunggu, Herbert! Aku datang!’ Teriak istrinya sambil berusaha membuka pintu depan.
Secara bersamaan, Tuan White menggenggam cakar monyet itu dengan tangan kanan dan mengajukan permintaan yang ketiga.
Nyonya White berteriak mengungkapkan kesedihannya dan suaminya lari menyusulnya. Wanita tua itu berdiri di samping pintu yang terbuka. Meski merasa takut, ia beranikan diri untuk menengok ke luar rumah yang gelap.
Jalanan gelap dan sepi-dan tak ada seseorang pun di sana.

Tagged , , , , , , , , ,

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *