Cerpen, Tugas

Gutho Yang Tak Pernah Kembali

Pagi sudah tiba di Pasar Cilongok, namun dia tidak datang sebagai yang pertama. Dia kalah cepat dengan pedagang sayur yang sedari dini hari tadi sudah mangkal, menduduki kios-kios pasar tradisional itu. Apalagi hari itu hari Minggu Manis, hari pasaran teramai Pasar Cilongok yang tidak lain tanggal mainnya.

Keramaian pagi hari tidak mengusik tidur Gutho, begitu lelaki paruh baya yang dikenal mengalami gangguan jiwa itu dipanggil. Ia masih tidur dengan lelapnya di depan Ruko No. 11, Toko Kelontong “Rejeki Abadi”. Si Gutho beberapa kali tertangkap Satpol PP. Namun entah bagaimana rimbanya, dia bisa kembali ke Pasar Cilongok lagi. Uniknya, dia tidak mau tidur selain di depan Ruko No. 11. Pernah suatu saat ketika halaman ruko itu sedang dicor ulang, Gutho nekat tidur di jalanan depan toko milik Babah Achong itu. Pada pagi buta, ia hampir saja terlindar truk sampah Kang Taryo. Untung saja Kang Taryo yang sudah 15 tahun malang melintang di dunia supir-menyupir itu cekatan mengerem sehingga Gutho yang masih mendengkur selamat dari roda-roda truk yang tak tahu belas kasihan itu.

Kembali ke pagi hari saat Gutho tidur. Untuk ke sekian-kalinya, Babah Acong yang membuka Ruko Pukul 05.59 tepat itu membuka pintu ruko dan menyiramkan air kepada Gutho yang masih bergumul dengan mimpi. “Byurr…” Guto bangun dan berlari, ia langsung berlari terbirit-birit diiringi makian Babah Achong dalam bahasa Mandarin. “chang ching chung cheng chong… bla bla bla” Begitu barangkali jika tukang becak yang mangkal di dekat toko Babah Achong ketika disuruh mentranskip umpatan Babah Achong kepada Gutho. Pengusiran Gutho dan umpatan menderanya menjadi hiburan rutin pagi hari bagi para tukang becak itu. Meski fasih berbahasa Indonesia, anehnya, Babah Achong selalu memaki kuli nya yang kurang becus atau pun Gutho yang numpang tidur di emperan rukonya dalam bahasa ibunya.

Pengusiran Guto berlangsung hampir tiap hari. Hal tersebut seakan sudah menjadi bagian kegiatan Pasar Cilongok yang tak pernah tidak terjadi. Anehnya, Guto tak pernah kapok meski harus disiram tiap hari dan bonus cacian impor. Yu Siwen, penjual nasi rames yang sering memberikan Guto nasi untuk sarapan cuma-cuma sudah tak terhitung pula menasehati Guto. Guto yang konon gila karena ditinggal pujaan hati kawin dengan pemuda kaya desa sebelah sering kali terlihat bosan dengan nasehat Yu Siwen yang itu-itu saja, Ia sering berucap: “Yu, jangan seperti orang gila yang mengucapkan kata-kata yang sama berulang kali” Ujar Guto dengan nada datar. Sebenarnya siapa yang gila?!

#

Pagi di tengah musim kemarau adalah surga untuk tidur pagi. Udara menjadi dingin sehingga membuat orang-orang ogah beranjak dari tempat tidur. Tapi tidak dengan orang-orang pasar. Mereka bangun pagi buta seperti biasanya. Mereka penantang sejati udara dingin yang sukar mundur. Babah Achong yang sudah bersiap dengan seember air yang begitu dingin itu membuka pintu rukonya. Begitu pintu terbuka ia siap menyiram air ke tempat di mana Gutho biasa tertidur mendengkur, tanpa alas, berbalut sarung curian dari Ruko Mad Kasan. Lelaki 65 tahun itu sedikit kaget melihat tak ada jasad Gutho terbaring di depan rukonya. Ia tengok ke kanan dan kiri tak ia jumpai Gutho sama sekali, ia begitu heran pagi itu. Para tukang becak sudah lama tak mangkal di dekat situ sehingga tak ada seseorang yang mungkin bisa ditanya perihal keberadaan Gutho.

Namun, ada hal aneh yang terjadi pada pagar alumunium yang menutupi rukonya. Pahar itu penyok di beberapa sisi seperti habis dipukul dengan benda tumpul. Seketika Babah Achong mencak-mencak sejadi-sejadinya. Ia nampaknya menuduh Gutho yang merusak pagar tokonya itu. Tetapi itu hanya berlangsung sebentar, sisanya, pagi itu, Babah Achong bak kehilangan sesuatu yang berharga, ia merenung sepanjang hari. Para pelanggan heran melihat tindak-tanduk lelaki botak dan bermata sipit itu, begitu pun para kuli yang merindukan omelan manca khas Babah Achong.

Keesokan harinya, Babah Achong yang telah menyiapkan seember air (seperti biasanya) untuk menyiram Gutho kembali terbengong melihat emperan rukonya kosong-melompong: Gutho kembali absen untuk kedua kalinya. Babah Achong kembali merenung seperti presiden yang tengah memikirkan hutang negara. Hari ketiga, hari keempat, hari kelima, hari keenam, dan seterusnya sampai dua minggu, Gutho benar-benar tak diketahui keberadaannya.

Kali ini Abah Achong benar-benar tak bisa mengendalikan diri untuk mengkhawatirkan Gutho. Ia tanyai satu per satu pedagang di Pasar Cilongok namun taka ada yang tahu di mana Gutho. Yu Siwen, donatur tetap untuk Gutho, pun tak tahu di mana keberadaan Gutho.

Pasar Cilongok dengan segala hiruk-pikuknya sama sekali tidak kehilangan Gutho, tidak begitu dengan Babah Achong, ia, di dalam lubuk hatinya, merindukan “menyiram” Gutho. Untuk mengelabui sikapnya sendiri yang aneh, lelaki sebatang kara itu terus saja bergumam: “ Mana itu olang gila! Kalau Owe nemu, mau Owe pukulin! Bial tahu lasa itu olang sinting!” Di tengah gumamannya, Rojikin, anak buahnya yang paling pintar, lulusan SMK favorit di se-kabupaten, mengingatkannya bahwa hari ini jadwal sang majikan memeriksa video di cctv-nya. Benar saja, setelah melihat al-manak kecil di meja kerja, Babah langsung mengiyakan dan pergi ke ruang tengah rumahnya. Di situ lah terdapat seperangkat komputer di mana video rekaman cctv bisa ditonton. Ia dengan teratur melihat video rekaman sebulan sekali atau kapan pun ketika terjadi hal-hal darurat.

Video rekaman menunjukkan situasi yang aman-aman saja pada minggu pertama bulan ini, begitupun minggu kedua: Gutho rutin tidur setiap Pukul 23.00 dan dibangungkan oleh Babah Achong Pukul 05.59. “Ghuto, di mana Kau?” gumam Babah Achong dalam hati ketika melihat Gutho yang seolah bergerak sangat cepat, efek video rekaman yang dipercepat. Sesuatu hal yang mengganjal terjadi ketika rekaman memasuki minggu ketiga.

Pada malam hari, ketika Gutho sedang tertidur pulas, sekawanan orang berbaju hitam berjumlah lima orang turun dari mobil sedan. Mereka membawa pelbagai senjata, ada juga seseorang yang membawa linggis. Tanpa basa-basi, si pembawa linggis langsung berusaha mendongkel pagar alumunium. Ketika ia sedang berusaha membuka pagar itu, Gutho bangun dan menendang pantat si pembawa linggis. Si pembawa linggis kalap dan berusaha memukul Gutho, namun Gutho berhasil mengelak, linggis itu bahkan sampai mengenai pagar alumunium. Teman-teman si pembawa linggis yang tadinya hanya menonton akhirnya turun tangan. Satu di antara mereka menuju ke belakang Gutho dan menusuknya. Gutho yang sedang konsentrasinya sedang tersita oleh si pembawa linggis lengah dan tertusuk. Sebelum ia terkapar, salah satu orang dari kawanan perampok itu membentangkan karung agar ketika Gutho jatuh, darahnya tak menetes ke tanah. Setelah tersungkur, Gutho langsung dilarikan oleh kawanan bandit yang tak mengenal belas-kasihan itu. Mobil sedan dengan plat A itu melesat menuju arah ke Utara, entah ke mana.

Rojikin dan Babah Achong tertegun. Mereka berdua terdiam hampir lima menit, ruangan sepi, hanya detak jarum jam yang terdengar. Babah Achong mulai menitihkan air mata, ia kehilangan kemampuan untuk bicara saat itu. Rojikin merapal kalimat tarji’ dengan suara pelan. “Hentikan! Siapa tahu Gutho masih hidup!” Abah Achong geram ketika Rojikin merapal kalimat tayyibah untuk mengungkapkan duka-cita itu. Rojikin pun terdiam, dia pergi ke dapur untuk mengambil air untuk majikannya yang sedang dilanda duka dan mungkin juga rasa bersalah.

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *