Artikel

Kekuatan Eksekusi Putusan Peradilan Agama terhadap Kewajiban Nafkah Anak

Oleh :Panjat Anarki Sulintang

Kuasa Eksekusi Putusan Pengadilan Agama Kewenangan peradilan agama diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang menyatakan bahwa: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di Pengadilan Agama. tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat dan infaq. Dari kewenangan tersebut sangat jelas bahwa dalam bidang Perkawinan dan yang berkaitan dengan perceraian dalam Islam termasuk dalam lingkup kompetensi peradilan agama. Dasar hukum kewenangan Peradilan Agama telah dua kali diubah dari undang-undang semula, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dua perubahan tersebut adalah:

  1. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;dan
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. undang-undang urt mengatur secara rinci tentang mekanisme beracara dan apa saja yang termasuk dalam lingkup kewenangan atau kewenangan utamanya dalam memeriksa dan memutus perkara.

Hal  terpenting dari permasalahan yang diangkat dalam kasus kewajiban orang tua memberikan nafkah kepada anak adalah kewenangan eksekusi putusan Pengadilan Agama terhadap tunjangan anak. kasus eksekusi putusan terkadang menemui kendala dalam pelaksanaannya, hal ini terjadi di semua bidang peradilan di Indonesia. Dalam hal eksekusi adalah melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dilakukan secara paksa karena pihak yang kalah dalam perkara tersebut tidak mau menuruti pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana mestinya. Menurut Yahya Harahap, ada empat prinsip pelaksanaan yang menjadi landasan dasar dari setiap keputusan yang akan dijalankan. Adapun prinsip-prinsip tersebut:

  • Putusan yang akan diakui mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan sela, putusan sementara, Grosse Akta dan Sertifikat Hak Tanggungan
  • Putusan tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah;
  • Vonis yang akan dieksekusi adalah penghukum; dan
  • Pelaksanaan atas perintah dan dipimpin oleh ketua pengadilan.

Selain asas di atas, mengenai jenisnya, pelaksanaan putusan terdiri dari dua jenis, yaitu:

  1. Pelaksanaan nyata, Pelaksanaan nyata ini dapat berupa pengosongan, penyerahan, pembagian, pembongkaran, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, dan menyuruh atau menghentikan suatu perbuatan (Pasal 218 ayat (2) RBg/Pasal 200 ayat (11) HIR / Pasal 1033 RV).
  2. Eksekusi Pembayaran

Pelaksanaan pembayaran dalam hal ini pelaksanaan pembayaran sejumlah uang (executieverkoof), dilakukan melalui mekanisme lelang (Pasal 208 RBg/Pasal 196 HIR). gambaran tentang putusan pengadilan yang wajib dilaksanakan karena mengandung pemaksaan terhadap pihak yang menerima putusan tersebut. Kita ketahui bersama bahwa dalam hukum acara peradilan agama tidak dapat dipisahkan dari HIR/RBG, karena masih banyak hal yang membutuhkan pengaturan prosedural. Salah satu pasalnya adalah Pasal 196 HIR/Pasal 208 RGB yang berbunyi: “Apabila pihak yang kalah tidak mau atau lalai untuk memenuhi putusan pengadilan secara damai, pihak yang menang dalam perkara tersebut mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri untuk melaksanakan keputusan pengadilan.” maka ketua pengadilan negeri dapat memanggil pihak yang berbadan hukum dan memberikan teguran agar pihak yang kalah dapat memenuhi amar putusan pengadilan dalam waktu paling lama 8 (delapan) hari. pengadilan untuk mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan agama yang memutuskan perkara tersebut.

Eksekusi atas penghasilan anak dari seorang ayah bukanlah perkara mudah karena bukan sekali tetapi kewajiban sampai anak tersebut dewasa. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme tersendiri untuk menjamin kewajiban tersebut dapat dilaksanakan dengan benar. Beberapa penawaran dapat digunakan, antara lain:

  1. Jika yang bersangkutan pegawai negeri atau memiliki pekerjaan tetap, maka gajinya dipotong setiap bulan;
  2. Jika ia bukan pegawai tetapi mempunyai harta tertentu, maka harta itu dapat dipergunakan untuk menafkahi anaknya yang dihitung sampai ia dewasa;
  3. Pengadilan meminta jaminan mengenai pelaksanaan kewajiban tersebut berupa barang berharga; d. Adanya sanksi berupa denda hingga hukuman apabila tidak ada itikad baik untuk melaksanakan putusan tersebut.

Referensi:

Huzaimah,  Arne,  Reformulasi  Hukum  Acara  Peradilan  Agama  Dalam  Pelaksanaan M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Eksekusi Bidang Perdata (Gramedia, 1991).

Eksekusi Putusan “Hadhanah”, Nurani, Volume 18, Nomor 2, (Desember 2018).

Nur Chlifah dan Bambang Ali Kusumo, „Hak Nafkah Anak Akibat Perceraian‟, Wacana Hukum, Volume 9, Nomor 2.

Nurhadi  dan  Alfian  Qodri  Azizi,  „Filososfis  Kewajiban  Nafkah  Anak  Dalam  UUO Islam Indonesia‟, JAS: Jurnal Ilmiah Ahwal Syakhshiyyah, 1.1 (2019)

Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  Tentang  Perkawinan,  Lembaran  Negara  Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019.

Pemerintah  Republik  Indonesia, Undang-Undang  Nomor  35  Tahun  2014  Tentang Perubahan  Atas  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  2002  Tentang  Perlindungan Anak‟.

Pemerintah   Republik   Indonesia,   Undang-Undang   Nomor   3   Tahun   2006 Tentang Perubahan  Atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  Tentang  Peradilan Agama,   Lembaran   Negara   Republik   Indonesia   Tahun   2006   Nomor   22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *