My Stories

School Outing Program Part 2: Berlatih Menghadapi Heteregonitas Masyarakat

Selain berburu turis asing untuk berbincang menggunakan bahasa Inggris, SOP juga memiliki program sampingan berupa pengabdian kepada masyarakat. Yang menjadi catatan adalah warga di sekitar Candi Prambanan begitu heterogen dalam hal keagamaan. Penulis menjumpai bahwa warga teralifiasi dengan beberapa golongan, di antaranya: LDII, Jama’ah Tabligh, Kejawen, dll.

Piket Kuliah Subuh

 Program sampingan ini tidak terlalu terasa ketika peserta melakoni kegiatan di Candi Prambanan. Peserta hanya diminta bergiliran mengisi kuliah subuh dan mengajar ngaji di masjid terdekat sekretariat. Sebagaimana di medan tempur SOP, penulis memasang badan sebagai orang pertama yang memberikan kuliah subuh. Penulis pikir dengan menjadi yang pertama bertugas akan membuat penulis lega dan bebas dari kewajiban piket ini. Pembina mewanti-wanti agar penulis tidak membawakan tema keagamaan yang terdapat polemik di dalamnya mengingat pemahaman keagamaan di pondok penulis berbeda dengan paham keagamaan masyarakat yang ada di sekitar sekretariat. Sayangnya penulis lupa tema apa yang penulis bawakan. Yang jelas, kuliah subuh berjalan lancar dan penulis tidak mendapatkan kritik berarti dari pembina. Mission completed!

Pengajian berbahasa Inggris

Pernyataan pembina kepada penulis mengenai “perbedaan” berputar-putar di kepala penulis. Penulis dihantui rasa penasaran. Rasa penasaran terjawab ketika pada suatu malam, ketika evaluasi, pembina menunjuk beberapa peserta SOP, termasuk penulis untuk berkumpul esok malam sehabis mendirikan Salat Maghrib. Pembina sedikit menjelaskan bahwa kami akan diajak ke acara kajian. Pembina menambahkan bahwa meskipun pihak kajian sudah tahu bahwa pondok-pesantren peserta SOP berafiliasi pada NU dan pihak panitia kajian berorientasi pada Jama’ah Tabligh, namun mereka dan pembina sepakat untuk melibatkan kami untuk ikut kajian mereka.

Keesokan malamnya kami yang ditunjuk ikut bersiap-siap di masjid yang tak jauh dari sekretariat untuk kemudian dijemput menggunakan beberapa mobil. Kami dibawa ke sebuah masjid yang terletak di daerah perkotaan, bisa jadi di daerah Sleman. Di sana sudah berkumpul jamaah dan kamipun membaur dengan jamaah yang sudah lebih dahulu datang. Mereka begitu ramah dalam menyambut kami. Seseorang dari mereka menyalami penulis dan kemudian berkenalan. Penulis menjelaskan bahwa kami dari Brebes dan sedang melaksanakan praktek kerja lapangan di Jogja dan Magelang.

Tak lama pengisi kajian datang. Ia menggunakan gamis biru muda dan berjenggot panjang. Ia mengucapkan salam ketika sampai dan dijawab oleh seisi masjid. Ia ternyata bukan orang Indonesia ataupun Timur-Tengah. Ia tampaknya berasal dari Asia Tengah. Aksen bahasa Inggrisnya aneh. Ia mengucapkan kata-kata dalam berbahasa Inggris namun dengan aksen khas aktor-aktor Bollywood, Indian-English. Ia didampingi seorang penerjemah yang setia menerjemahkan setiap kalimat pada ceramahnya.

Bagi penulis, pengalaman ini begitu ganjil namun menarik. Ganjil karena mendengarkan kajian menggunakan bahasa Inggris. Penulis mungkin tidak asing mendengarkan materi pembelajaran dengan bahasa Arab, baik dari para guru maupun para ‘ulama Timur-Tengah yang sering bertandang ke pondok, namun mendengarkan pengajian (panitia acara menyebutnya kajian) dengan bahasa Inggris adalah hal yang baru. Menariknya ini adalah pengalman baru yang sangat langka didapat. Jika ditilik dari studi penerjemahan, pengisi kajian banyak menggunakan teknik peminjaman dalam ceramahnya. Beragam istilah keagamaan Islam yang berasal dari bahasa Arab langsung diucapkan dalam bahasa sumbernya kendati kajian disampaikan dalam bahasa Inggris.

Banyak peserta SOP mengantuk mendengarkan kajian ini. Jamaah kajian yang berada di sekitar mereka yang mengantuk, memijati mereka dengan sabar. Bukannya mereka bangun justru mereka tambah terlelap karena bisa jadi pijatan jamaah begitu enak.

Di akhir kajian, pembicara berganti. Kali ini sang da’i merupakan da’i lokal. Ia menawarkan amaliyah keagamaan yang sangat asing di telinga penulis bernama khuruj. Menurut sang da’i, amalan ini akan menghapuskan dosa orang yang menjalankan. Amalan ini berupa aktivitas berjalan kaki ke luar daerah domisili pengamal untuk menyampaikan kebaikan. Belakangan penulis paham bahwa amalan ini adalah amalan khas Jama’ah Tabligh. Sang da’i, dalam ceramahnya, mengajak jemaat yang hadir untuk maju dan mendaftarkan diri untuk mengikuti amalan ini. Ia menyatakan bahwa pengamal khuruj akan diganjar dengan pahala yang besar serta pengampunan terhadap dosa yang telah lampau.

            Setelah kajian dan Salat Isya berjama’ah selesai, penulis dan teman-teman penulis diajak makan bersama dengan bekal yang mereka bawa. Mereka begitu ramah dalam menyilakan kami makan. Bahkan, teman penulis yang alergi daging disiapkan makanan khusus. Setelah makan, kami diajak mengobrol ke sana ke mari. Penulis berusaha berhati-hati dalam menjawab mengingat perbedaan pandangan yang mungkin ada di dalam otak penulis dengan orang yang mengajak penulis mengobrol. Seingat penulis, kami mengobrol masalah kurikulum di pondok pesantren masing-masing. Setelah itu, kami diantar pulang ke komisariat.

Bapak kos yang menganut Kejawen

            Kepercayaan Kejawen juga tampaknya memiliki pengikut yang banyak di sekitar Candi Prambanan. Selama berada di candi ini, penulis banyak menemukan sesajen. Pemilik kos-kosan yang disulap menjadi kantor komisariat juga tampaknya penganut kejawen yang taat. Arsitektur rumahnya begitu jawa dan pedupaan ditemukan di pelataran rumahnya.

Sebenarnya penulis tidak terlalu asing dengan praktik semacam ini. Di desa penulis masih banyak tradisi Kejawen yang bisa ditemui seperti menggantung pelbagai sesajen di atap orang yang sedang merenovasi rumah; pertunjukkan Kuda Lumping dan Sintren yang melibatkan makhluk gaib; perhitungan weton ketika seseorang akan menikah atau dikhitan; dan lain sebagainya. Bahkan, menurut penuturan orang tua penulis, dulu semasa mereka kecil dupa dan sesajan masih gampang ditemui di sawah dan ladang. Dewasa ini hal-hal serupa sudah susah penulis temukan di desa penulis.

Pengalaman salat bersajadahkan kain kafan

            Selain dua aliran tersebut, penulis juga jumpai masjid unik yang terafiliasi dengan satu ormas (sayang sekali penulis lupa nama ormasnya). Kala itu, penulis dalam perjalanan pulang dari warnet yang mana merupakan tempat favorit siswa PKL menghabiskan waktu sehabis berpanas-panas ria mencari turis untuk diajak mengobrol. Saat dalam perjalanan pulang, azan Salat Asar berkumandang dan tanpa pikir panjang penulis mampir ke masjid yang penulis temui. Penulis sempat tercenung karena mendapati masjid yang penulis temui beralifiasi ke satu ormas yang namanya asing di telinga penulis. Namun penulis terus saja berjalan ke masjid, utamanya tempat berwudu.

Setelah itu penulis masuk masjid dan berdiri sejenak. Ternyata tak lama setelah itu iqamah berkumandang. Penulis terkejut karena orang-orang yang berjamaah di tempat ini berpenampilan sangar. Kebanyakan mereka bertato dan berambut gondrong. Dengan sedikit ragu penulis maju dan menggenapi saf. Belum reda gemuruh rasa heran, penulis kembali terkejut saat menghadapi fakta bahwa bagian karpet tempat untuk kepala saat bersujud dilapisi kain kafan yang putih bersih. Saat penulis bersujud, ternyata kain kafan ini juga diberi minyak wangi yang biasa dioleskan disekujur badan jenazah. Pikiran penulis tercekat dan seketika penulis merinding. Namun, belakangan penulis paham bahwa hal yang demikian dilakukan dalam rangka untuk mengingat kematian.

Menghidupkan masjid yang terbengkalai

Jika di sekitar kesekretariatan ramai dipenuhi banyak muslim dari pelbagai golongan, maka jika kita bergeser sedikit ke arah Candi (penulis lupa arah mana) Kita akan temui daerah di mana aktivitas keagamaan begitu minim. Di sinilah beberapa teman penulis diutus untuk meramaikan masjid. Penulis yang pernah berkunjung ke sana merasa prihatin dengan kondisi masjid: masjid tak terurus dan jama’ah sangat minim jumlahnya. Saat akan mengadakan pengajian untuk anak-anakpun, kami harus minta bantuan ketua RT setempat untuk menyosialisasikan kegiatan ini di pertemuan anggota RT.

Melakoni pertandingan persahabatan

Tak jauh dari sekretariat terdapat pondok pesantren modern yang terlihat cukup mewah. Kemewahan ini tak mengherankan mengingat pesantren ini merupakan cabang dari salah satu pondok pesantren modern ternama di Indonesia.

Selepas Ashar beberapa peserta SOP menyempatkan diri bermain sepakbola di lapangan sekitar pondok pesantren tersebut. Suatu sore saat kami sedang bermain, banyak santri dari pondok tersebut keluar dari asrama dan tampaknya akan bermain bola pula di lapangan. Dengan inisiatif pembina SOP yang juga turut serta bermain bola, kami melakoni pertandingan persahabatan dengan santri pondok modern ini. Diperkuat beberapa pemain tim nasional Al-Azhar, tim kami menang dengan skor yang mencolok, 7-1. Seperti halnya waktu kecil dulu, pertandingan berakhir saat azan Magrib berkumandang.

Hiburan saat SOP

Selain bermain sepakbola, hiburan lain yang disukai peserta SOP adalah menyewa komputer di warnet. Bagi kami, berselancar menggunakan komputer di warnet adalah sebuah kenikmatan sendiri mengingat akses internet di pondok begitu terbatas. Biasanya kami akan melakukan aktivitas ini selepas memburu turis.

Biasanya kami akan terlebih dahulu membuka YouTube untuk menemukan lagu-lagu kesukaan, baru kemudian kami akan berselancar bebas atau sekadar menelusuri beranda Facebook. Kadang, beberapa peserta juga iseng mengirim pesan via Messanger kepada peserta PKL putri. Berkirim-pesan dengan peserta PKLputri, entah mengapa, terasa begitu spesial. Mungkin hal ini terjadi karena tindakan ini dilarang dan bisa berujung pada takzir selepas PKL nanti. Kami harus buru-buru menghapus seluruh pesan dengan peserta PKL lawan jenis selepas selesai bertukar pesan jika tidak ingin tindakan kami diketahui pembina.

Tagged , , ,

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *