My Stories

School Outing Program Part 1: Jalan Keluar dari Mental Inlander

Mental inlander adalah sikap di mana warga pribumi selalu merasa lebih rendah dari orang-orang manca. Sikap ini sering disematkan kepada orang-orang Hindia yang pada masa lampau dijajah bangsa Eropa, khususnya Belanda. Penduduk Hindia sering kali merasa lebih rendah martabatnya jika dibandingkan dengan orang asing, baik Arab, Eropa, maunpun Asia Timur. Meski Indonesia sudah tujuh puluh tahun merdeka, mental inlander belum kunjur purna. Mental ini seakan menjadi warisan turun-temurun yang banyak dianut dari masa ke masa. Jika seorang legenda bernama Pramoedya Ananta Toer bisa lepas dari mental inlander setelah skidipapap dengan pacarnya yang Eropa, maka penulis merasa mental inlander penulis hilang atau setidaknya berkurang setelah melalui salah satu program, yang menurut penulis sangat progresif, dari MA Al Hikmah 2 Brebes (Malhidkua) bernama School Outing Program atau biasa disingkat SOP.

Apa itu SOP?

            SOP atau School Outing Program adalah kegiatan di mana siswa tahun kedua Malhikdua program Spesifikasi bahasa Inggris, Kelas Imersi (IPA Unggulan), dan Madrasah Aliyah Keagamaan mencari turis asing, utamanya penutur jati bahasa Inggris untuk diajak bercakap-cakap demi mendapatkan kemampuan dan pengalaman bercakap Bahasa Inggris dengan penutur jati. Kegiatan ini dilakukan di Candi Prambanan, Malioboro Yogyakarta, dan Candi Borobudur selama dua minggu. Dari semua siswa yang ada, akan dibagi dua kelompok besar. Kelompok A akan lebih dahulu beroperasi di Candi Borobudur sedangkan Kelompok B akan lebih dahulu beroperasi di Candi Perambanan dan Malioboro. Dari kelompok besar ini nantinya akan dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil beranggotakan dua atau tiga orang. Kelompok kecil ini akan selama mungkin bercakap dengan turis-turis yang ada. Penulis menjalani program yang sejatinya adalah praktek kerja lapangan (pkl) ini pada 2015.

Menjadi Starter

Sesi foto keluaga bersama Mr. Herry dan Mrs. Ingrid dari Belanda

            Penulis tergabung di Grup B yang artinya kami akan mulai petualangan kami di Candi Prambanan. Tantangan di medan tempur ini adalah area yang sangat sempit karena saat itu ada beberapa candi yang sedang direnovasi. Artinya, turis yang datang sedikit dan hanya berkeliling di tempat yang sempit. Selain itu, karena ini pertama kali kami turun di medan laga, tentunya rasa kurang percaya diri dan grogi sedang besar-besarnya. Hal ini langsung penulis akali dengan langsung mendekati turis yang ada selepas masuk ke pintu masuk Candi Prambanan.

Penulis dan partner, Udin, langsung mendekati sepasang turis paruhbaya bernama Mr. Harry dan Mrs. Ingrid dari Belanda. Penulis lupa apa saja yang kami bicarakan, tetapi penulis ingat bahwa penulis dan Mr. Harry membincangkan masalah tim nasional sepak bola Belanda, khususnya the flying dutchman, Robin van Persie. Sementara penulis berbincang masalah bola dengan sang suami, Udin bercakap dengan sang istri, Mrs Ingrid. Kami mengobrol singkat karena tak mau mengganggu dua sejoli setengah abad ini. Meski grogi dan percakapan kami singkat, namun ini adalah awal yang baik.

Penulis bahagia karena menjadi yang pertama dari rombongan Grup B yang mampu mendapatkan “mangsa.” Pembina kelompok terlihat bahagia saat kami bercakap dengan sepasang tetangga Meneer van Persie ini. Kamipun menjadi sasaran bidikan kamera salah satu pembina yang membawa kamera DSLR. Penulis berharap ini adalah jalan menuju model sampul brosur sekolah. Hehehe…

Kena prank Bule Jakarta  

            Ketika tengah malas berburu turis, kadang kami melakukannya bersama kelompok lain. Hal ini terjadi karena jumlah turis yang minim sehingga tidak mungkin seluruh kelompok kecil kami mendapatkan turis. Kami menemukan seseroang bapak-bapak bule tambun yang mengenakan jersey klub sepakbola Portugal, Benfica. Ia membawa seorang anak kecil yang lucu bernama Serena. Namanya mengingatkan penulis dengan atlit tenis hebat bernama Serena Williams. Tampangnya Indo: hidung mancung khas Barat tetapi rambutnya hitam khas Indonesia. Ia susah didekati karena pemalu, akhirnya kami berinisatif bercakap dengan bapaknya.

Kami bahagia karena ia seorang Yankee (orang Amerika). Orang Amerika menempati level teratas dalam kriteria turis buruan kami karena mereka adalah penutur jati bahasa Inggris. Kami bisa belajar dari sumbernya, begitu singkatnya. Karena kami berenam, maka kami bergantian bercakap dengan bapak muda ini. Tidak sedikit dari kami yang terbata-bata karena grogi. Setelah dua dari kami bercakap, siswa ketiga bertanya sudah berapa lama berada di Indonesia. Sang turis berujar bahwa ia sudah di Jakarta selama sepuluh tahun. Kami berenam tentu gregetan dan langsung menyapanya dengan bahasa Indonesia.

 “Ngapa kawit mau Rika ora ngomong Mister! Nyong wis pada kangelan ngomong karo Bahasa Enggres malah cempluk jebul rikane wis suwe neng Jakarta!!” Begitulah kira-kira misuhan penulis dalam hati karena merasa di-prank bule ini. Dia tersenyum ketika kami menyapanya dengan Bahasa Indonesa. Tak lama kemudian kami berpamitan.

In Sign Language, We Trust!

Sedang berusaha memahamkan mas-mas Prancis. Foto ini masuk brosur sekolah, lho!

           

Meski program ini dilaksanakan untuk mengasah kecakapan pesertanya dalam berbahasa Inggris, tak terpungkiri bahwa bahasa isyarat adalah palang pintu terakhir kami ketika kami tak tahu apa padanan dalam bahasa Inggris kata-kata yang kami maksudkan. Hal ini terjadi ketika kami bertemu seorang turis Prancis bernama Maxime. Dia berpenampilan cukup keren dengan kamera tangan, kacamata, dan tasnya yang cukup trendy pada saat itu. Penampilannya kasual laiknya banyak turis Eropa yang melacong di negeri dengan terik matahari sepanjang tahun kebanyakan.

            Jujur saja penulis lupa apa yang kami bicarakan dengan mas-mas Prancis ini. Namun ada satu momen lucu yang susah terlupakan, mungkin seumur hidup. Dia yang asli Lyon, Prancis, tak begitu bagus Bahasa Inggrisnya, mungkin 11 12 dengan Bahasa Inggris penulis dan Udin.

            Saat itu, kami sedang menjelaskan bahwa Candi Prambanan pernah dilanda gempa sehingga harus direnovasi. Celakanya, Penulis dan Udin tak terpikirkan apa Bahasa Inggrisnya gempa bumi. Akhirnya, Udin memeragakan apa yang kami maksud. Penulis sendiri menilai Udin memeragakan orang yang sedang mabuk ketimbang orang yang sedang mengalami gempa bumi. Untungnya, sang turis paham dan berujar “earthquake?” “Yes, It is!” Penulis berujar dengan lega. Aku dan Udin pun tertawa karena lega. Sang turis menunjukkan ekspresi bingung mengapa kami tertawa.  

            Meski obrolan kami kurang sukses, namun ternyata justru momen obrolan kami ini yang diabadikan oleh pembina dan kemudian hasilnya terpampang di brosur sekolah walaupun ukuran foto kami tak lebih besar dari foto ijasah dan berada di pojokan. Minimal, salah satu mimpi penulis terwujud.

Mas-mas ganteng Belanda: Digemari Turis Lokal dan Hampir Tertinggal Travel

Sedang berbincang masalah skateboarding

            Tampaknya penulis berjodoh dengan turis Belanda. Kali ini penulis bertemu dengan Mas-mas ganteng berusia 18 tahun, selisih setahun dengan penulis. Berbeda dengan penulis, ia putih dan tinggi. Rambutnya pirang dengan panjang sebahu. Dia cukup easygoing sehingga asyik diajak ngobrol. Sayangnya penulis lupa siapa nama mas-mas ini.

Kami mengitari Candi Prambanan, tentunya dengan obrolan yang ngalor-ngidul. Penulis dan Ojan sempat stuck ketika kami sampai di salah satu candi utama. Penulis mengambil inisiatif dengan mengajaknya mengobrol masalah sepak bola. Celakanya, ia tak suka dan tak paham sepakbola. Dia menyukai dunia skateboarding. Kami yang orang desa nan nggunung tentu tidak relate dengan olahraga urban ini. Kami diselamatkan oleh turis lokal yang meminta mas-mas ini untuk foto bersama.

            Kebiasaan meminta foto bareng turis lokal  sedikit-banyak merupakan cerminan mental inlander di mana mereka merasa turis-turis manca ini mempunyai derajat istimewa dibandingkan mereka. Turis lokal sangat berani, bahkan kadang nekat ketika ingin meminta foto bareng dengan turis-turis ini. Yang paling ekstrem mereka tiba-tiba datang kemudian berpose. Teman si turis lokal langsung mengambil foto. Ada beberapa mereka yang cukup sopan. Mereka biasanya berusaha meminta foto bersama si turis, meski dengan bahasa Inggris yang lucu dan seadanya, misalnya, “Mister, cekrek-cekrek…” tutur ibu-bu dengan logat Jawa yang kental disertai tangannya yang menunjukkan kamera. Beberapa turis mau-mau saja walaupun ada sedikit dari mereka yang menolak. Ada beberapa turis yang menanyakan kebiasaan turis lokal ini kepada penulis. Penulis menjelaskan bahwa turis lokal menganggap mereka adalah selebritas yang biasa mereka tonton di film-film Hollywood.

Selain mencari turis untuk berbincang, Kami juga kerap menjadi tukang foto untuk para turis endemik yang ingin berfoto dengan para turis mancanegara

            Kembali ke mas-mas ganteng Belanda. Ketika kami sudah tidak ada bahan pembicaraan, ada beberapa turis lokal, mereka cewek-cewek yang mungkin seumuran dengan penulis saat itu. Mereka meminta penulis untuk meminta mas-mas ganteng untuk berfoto bersama turis endemik ini. Yang membuat penulis tak habis pikir, cewek-cewek ini berfoto dengan begitu dekat dengan si mas-mas, terlihat begitu akrab singkatnya. Mereka tak segan-segan untuk mepet-mepet ke mas-mas londo ini

            Setelah itu, penulis dan mas-mas Belanda menuju pintu keluar karena ia telah puas berkeliling dan penulispun sudah jamnya pulang. Di dekat pintu keluar terdapat gazebo dan kami beristirahat di situ. Dia memuji seragam kami yang dia nilai bagus tetapi salah tempat. Menurutnya, menyiksa diri menggunakan setelan baju OSIS di tempat sepanas ini. Kemudian penulis menjelaskan bahwa kami sudah terbiasa. Ia juga menanyakan balik mengenai sepak bola. Ia juga bertanya apakah penulis menyukai Manchester United. Penulis menggeleng dan menjawab Ajax Amsterdam demi menciptakan keakraban (Padahal penulis adalah Milanisti). Kami kembali terlibat dalam obrolan ngalor-ngidul hingga ia ingat bahwa sebentar lagi mobil travel yang akan ia tumpangi akan berangkat. Ia berpamitan dan penulis meminta foto bersama dengan pose swafoto. Ia kemudian lari kencang menuju pintu keluar. Good luck, Meneer! Pikir penulis sambal berharap ia tak tertinggal mobil travel.

Bahasa: Hal Ajaib Yang Menyadarkan!

Penulis yang awalnya juga sejalan dengan turis lokal. Penulis mereka istimewa dan jauh di atas derajat penulis. Namun setelah menjalani SOP ini dan merenung, penulis mendapat pecerahan.

Penulis merasakan keajaiban bahasa karena program ini. Penulis bisa berbincang dengan orang-orang yang berasal dari mancanegara yang mana berjarak ratusan bahkan ribuan kilometer dari daerah asal penulis. Kami bisa tahu apa yang masing-masing kami maksud dan mengambil pelajaran dari hal tersebut. Dari beberapa turis yang penulis, bahkan banyak turis yang memiliki kemampuan bahasa Inggris yang tidak sehebat penulis, terutama orang-orang Asia Timur dan Prancis. Pengetahuan mereka juga tidak semuanya luas. 

Bukan penulis merasa superior karena memiliki penguasan bahasa Inggris yang merupakan produk dari hegemoni Barat, tetapi penulis merasa bahwa penulis dan turis-turis yang penulis temui merupakan sama-sama penduduk dunia yang setara. Kesetaraan ini berbentuk kesempatan yang sama untuk menguasai bahasa dan mempelajari ilmu pengetahuan. Kita sebagai warga dunia, derajatnya ditentukan oleh setinggi apa ilmu pengetahuan dan etika yang kita punya, bukan oleh ras, suku, kewarganegaraan, kekayaan, bentuk fisik, atau warna kulit. Mereka juga manusia biasa yang banyak tidak tahunya ketimbang tahunya seperti halnya penulis dan masyarakat Indonesia lain.  

            Penulis dan seluruh warga lokal layaknya merasa setara dan biasa-biasa saja menanggapi mereka. Mereka laik diperlakukan istimewa karena keunggulan mereka dalam satu bidang, bukan karena semata fisik mereka yang tinggi, hidung yang mancung, rambut yang pirang, dan mata yang biru.

            Penulis juga awalnya sangat tertarik dengan turis asing layaknya turis lokal. Namun setelah mengalami perenungan tersebut penulis hanya berfoto dengan turis karena semata sebagai bukti bahwa penulis telah berbincang dengan mereka. Pendeknya karena tuntutan dokumentasi kegiatan. Kedua, karena memang turis yang penulis temui memberikan kesan yang mendalam dengan penulis dan layak menjadi kenang-kenangan yang akan diingat kembali suati hari nanti.

Tagged , , , , ,

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *