Tak Berkategori

Pesantren: Dermaga Rinduku

Aku rindu para kyai yang mengabdi tanpa digaji,

mengajar tanpa dibayar, dan –

berkhidmat seakan lupa akan rasa lelah

 

Aku rindu para pengurus

Yang mengurus tanpa pernah terurus

Teroris saat lelapnya pagi,

dan malaikat sata Aku sakit

 

Aku rindu melihat santri baru

Mereka menangis saat ditinggal orang tuanya sejam yang lalu

Ia menangis tak kerasan, tanpa sadar ia sudah terdampar-

di tempat ilmu dan keberkahan

 

Aku rindu pada santri putri, yang berjalan malu-malu:

menunduk saat bersua santri putra,

namun di dalam hati mekarlah seribu bunga asmara

 

Aku rindu antrian mandi-

yang memanjang, didesaki orang-orang dengan setengah kesadaran:

Akal mereka masih bergumul dengan mimpi-

namun kenyataan memaksakan mereka berjumpa pagi

 

Aku rindu rindu sarung dengdek-

yang kucuci seminggu sekali,

kadang terasa gatal memang,

tetapi daku urung untuk membeli lagi

 

Aku rindu teman sepermainan:

sahabat ketika kuberduka;

rekan ketika kubekerja;

mentor sebaya ketika belajar;

serta kompatriot saat kumelakukan tindak kriminal, nakal

 

Aku rindu masjid, gor, ruang kelas, dan koridor:

di sanalah kutertidur ataupun sengaja tidur

Tak beralaskanpun tak mengapa,

peci menjadi bantalnya

 

Aku rindu mba dan mas ndalem:

para pengabdi di pengabdi,

hidup dengan berkat,

belajar dengan rahmat,

dan dengan sekolah mereka terkesan bodo amat!

 

Aku rindu bagian bahasa:

yang memaksaku menjadi orang manca,

mata elang dan telinga ninja

menghisab yang salah bicara

menghukum yang bercakap dengan bahasa ibunya

 

Aku rindu seksi keamanan:

Sang muka garang ketika peraturan diterjang;

Musuh ideologis bagi para pembangkang;

Pelanggar nomor satu apa yang dia sendiri seru.

 

Aku rindu gerbang pondok-

lengkap dengan satpam galak yang sering kali naik pitam-

kala aku ketahuan keluar tanpa perizinan

Di sanalah sering kali Aku merana ditindas ta’ziran

 

Aku rindu rival diskusi-

yang tersengal-sengal membangun argumentasi:

berusaha memenangkan mosi,

berkilah ketika diserang dari lain sisi

Terkadang Kami terbakar emosi,

tetapi itu hanya sekejap

Setelah itu:

bercanda dan tertawa bersama lagi: ngopi-ngopi

 

Aku rindu kawan curhat,

dia bijaksana walaupun kadang dia juga merana pula

Mengobrol tak kenal waktu:

Mulai dari bedug isya-

hingga fajar muncul: merah merona

 

Aku rindu mba santri yang itu:

Bergamis zoya dan berkerudung rabbani:

Memakai jam tangan-

dan membawa, dengan khidmat, kitab pasaran;

Berkacamata dan memakai make-up ala kadarnya

Ia sukses menanam bunga-

di kebunku yang lulus dan kosong:

tak ditanami apa-apa

Inginku bertanya: “Namamu siapa wahai Adinda?”

tetapi apa daya,

rasa malu begitu hebat menguasai menggurita,

hingga tenggelam semua armada kalimatku,

satu katapun tak tersisa.

 

 

22 Oktober 2018.

Tagged

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *